Menunggu Cinta Dibalik Jendela ( Part 2 )

Oleh : Dzuliastuti Dewi, Medan

Cinta yang tak mampu tersentuh, namun dapat dirasakan. Cinta yang tak mampu direngkuh, namun dapat dijaga dengan kesetiaan. Meskipun cinta tak menerima, tapi hati kan tetap terikat pada satu nama.Begitulah yang dirasakan oleh Uli selama menunggu Ryadi. Uli tak mampu mengatakan apapun saat berjumpa dengan Ryadi, hingga akhirnya ia hanya mampu memandang Ryadi diantara keramaian orang yang berlalu lalang . “Kenapa, Uli? Kok sedih gitu? Galauu awakk iyaa??.” Ujar Lina, sembari menggoda Uli yang melamun di balik jendela kelasnya “Ehh, Lin. Zaman sekarang masihh galauu?? Enggak lahh”. Jawab Uli dengan wajah yang berusaha tersenyum untuk menutupi perasaannya. “Alah, gak usah bohong. Kita memang masih baru sahabatannya, tapi aku lebih tau gimana perasaanmu lebih dari mereka yang lebih dulu mengenalmu.” Kata Lina seraya merangkul Uli. Uli pun menceritakan semua hal tentang Ryadi kepada Lina. Mendengar cerita Uli, Lina begitu bahagia dan bersemangat untuk mencari informasi seputar Ryadi. Uli adalah orang yang terdekat dengan Lina saat ia pindah dari Tasikmalaya ke Medan. Perjumpaan mereka sangat singkat, namun mereka mudah akrab satu sama lain. Karena itu, Uli selalu menceritakan apapun yang dirasakannya kepada Lina.

Mengumpulkan puing-puing yang masih tersusun rapi dalam ingatan, Sembari menyusun kembali kemampuan yang tersisa diantara ketidakpastian yang mungkin pada akhirnya akan berujung kekecewaan. Hal yang seharusnya menyakitkan pun tak dapat dirasakan lagi pedihnya. Rasa cinta yang dimiliki Uli kepada Ryadi mampu mengobati segala pilu dan kecewa yang dia rasakan saat Ryadi tak mengenalinya dan memilih berlalu pergi. “Hemm…abang kenapa lupa sama Uli? Uli salah apa sih, sampai abang gak mau menyapa Uli sebentar aja, padahal Uli menunggu untuk berjumpa dengan abang hingga bertahun-tahun. Setiap hari aku selalu berusaha untuk yakin bahwa abang akan kembali lagi, sehingga kita mampu bersama lebih lama lagi. Kenapa sih, menunggu itu begitu menyakitkan?.” Batin Uli saat menyendiri di lapangan basket sekolah. “Haii… jangan melamun sendirian nanti kesambet mbah kunti baru tauu…” Goda Geofani, teman sekelas Uli. “Mana mau mbah kunti gangguin makhluk tuhan secantik akuu.. hahahaha…” jawab Uli diiringi tawa uniknya. “ Kenapa belum pulang fani?” Tanya Uli. “Aku lagi nungguin abangku yang di SMA, kan hari ini dia les jadi aku mau pulang bareng sama dia. Biar hemat ongkos,Uli”. Jawab Geofani. Perbincangan pun terhenti saat pandangan Uli beralih kepada sosok lelaki yang begitu dirindukannya. Ryadi melintas persis dihadapan Uli dengan beberapa teman-teman lelakinya. “Ia masih sama, masih selalu tersenyum dan ceria. Begitu bahagia melihatnya tertawa, seperti mutiara yang selalu ingin kujaga dan ku lihat”. Gumam Uli dalam hati sambil memegang dadanya yang sedari tadi tak henti berdebar melihat Ryadi. “Fani, Uli bisa minta tolong gak? Tolong tanya lah sama abangmu, tentang abang yang pakai tas biru itu. Cari tau ya, kelas dan jurusannya”. Pinta Uli dengan wajah yang berseri-seri. “Ciee… Uli suka ya sama abang itu? Nanti aku tanya ya sama abangku”.

Mentari telah berdiri disinggahsana agungnya, tuk menyingsing duka agar cepat berlalu meninggalkan pilu. Awal yang indah untuk menuai bahagia, seperti itu jua senyuman yang terlukis dibibir Uli pagi itu. Seusai sarapan, ia pun bergegas untuk berangkat kesekolah. Dengan waktu yang sama ia menunggu dibalik jendela kelasnya untuk menunggu Ryadi melintas dihadapannya. Waktu telah menunjukkan pukul 07.00 wib namun Ryadi tak jua datang kesekolah. Pandangan Uli tak henti-hentinya menelisik kesegala arah untuk menemukan wajah sang cinta. Namun tak juga didapatinya. Hatinya begitu risau dan diselimuti kegelisahan mendalam. “Kemana dia? Udah setengah jam ia gak juga datang ke sekolah. Apa dia sakit? Apa dia terjebak macet, gimana kalau dia terlambat terus dihukum guru”. Segala hal yang aneh menyelubungi pikirannya. Namun, selubung itu akhirnya lenyap saat Ryadi akhirnya melintas dihadapannya. Begitu melihat Ryadi, senyum Uli kembali mengembang walau hanya sebatas jendela, tapi ia begitu leluasa tuk mengamati Ryadi. Begitulah hal yang selalu dilakukan Uli selama Ryadi ada di sisinya. Hanya mengamati dibalik besi-besi jendela, hanya untuk memastikan bahwa ia bisa selalu melihat Ryadi setiap pagi dengan wajah bahagia. Begitu pula yang dilakukannya seusai pulang sekolah, menunggu dilapangan basket hanya untuk memastikan sang pemilik hati tetap ceria dan bahagia.

Beberapa bulan berlalu, tapi Uli masih melakukan hal yang sama yaitu menunggu Ryadi dipagi hari dan seusai pulang sekolah hingga satu jam lamanya. Menunggu memang membosankan, tapi bila menunggu untuk orang yang dicintai maka rasa kecewa mampu terseka dengan bahagia kala telah melihatnya. Pagi itu, Uli berusaha untuk tak melihat Ryadi lagi. Ia takut ia akan kecewa dan tak mampu melepaskan Ryadi. Jadi ia memutuskan hanya duduk di samping jendela namun tak melihat kearah luar. Sembari menulis nama-nama di absen kelas, entah mengapa hatinya memberontak untuk melihat kearah luar jendela. Karena tak kuasa menahan permintaan hatinya, akhirnya ia pun memutuskan tuk mengikuti kata hatinya. Alangkah kagetnya Uli saat mengetahui bahwa Ryadi juga melihat kearah jendela yang merupakan tempat Uli melihatnya dipagi hari. Ryadi pun melanjutkan langkahnya dengan meninggalkan senyuman kearah jendela itu. Uli yang takut Ryadi mengetahui keberadaannya, hanya mampu bersembunyi dibalik tirai jendela. Alangkah bahagianya ia pagi itu,saat ia mulai ingin menyerah Allah menunjukkan kepadanya cara untuk bertahan.

Kebahagiaan Uli tak henti sampai di pagi itu, Allah benar-benar ingin menghiburnya melalui potongan-potongan puzzle cinta yang mulai tersusun. Hal yang sangat ingin diketahuinya akhirnya mulai terungkap. Lina yang baru sampai ke kelas bergegas menghampiri Uli yang sedang mengerjakan soal-soal matematika. “Uli, aku seneng banget. Tau gak aku tadi jumpa sama siapa diangkot?” tanya Lina dengan wajah penuh bahagia. “Enggak. Memangnya jumpa sama siapa?” jawab Uli dengan ekspresi datar. “Aku satu angkot sama bg Ryadi”. Bisik Lina dengan perlahan “Satu angkot, Lin?sama bang Ryadi? Kok bisa? Akuu mauu… besok aku mau pindah rumah ajalah biar bisa satu angkot sama bang Ryadi. AAhhh, Lina. Aku mau satu angkot sama dia”. Teriak Uli seraya meloncat-loncat geram. Melihat tingkah Uli yang penasaran, Lina tertawa terbahak-bahak sehingga menambah keramaian kelas. “Ia, aku juga kaget. Aku kan udah ada diangkot duluan kan, terus angkotnya berhenti sebentar. Eh, gak taunya yang naik itu bang Ryadi. Wihh, Ganteng kali Uli. Suaranya lembut kali. Orangnya juga ramah kali. Dia yang negur duluan. Tapi dia gak tau kalau aku itu sahabat Uli. Baik kali abang itu, kalau aku sih setuju kali Uli sama abang itu”. Ujar Lina dengan mata yang penuh harapan agar sahabatnya mampu bersama orang yang ia cintai. Lina tak henti-hentinya menggoda Uli tentang kejadian yang diangkot pagi tadi. Ia begitu antusias dengan perasaan Uli kepada Ryadi, bahkan Lina berusaha untuk selalu mencari informasi mengenai Ryadi untuk mendukung Uli. Lina adalah sahabat terbaik yang ia miliki, ia selalu memahami hal-hal kecil yang selalu dirasakannya. Bahkan diantara kelima sahabat lainnya, Lina lah yang selalu ada disisi Uli dan mampu membaca berbagai perasaan yang berusaha selalu disembunyikan Uli.

Setahun berlalu, namun Uli tak juga mendapatkan informasi yang membuatnya dekat dengan Ryadi. Uli selalu hanya bisa menunggu Ryadi dan hanya mampu melihatnya dari balik jendela dan bersembunyi diantara ketidakpastian. Ia yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP, mau tak mau harus menyingkirkan terlebih dahulu ingatannya tentang Ryadi untuk focus pada belajar. Namun, lagi-lagi saat perasaan mulai tersimpan Allah menghendaki tuk menuntaskan. Entah apa rencana Tuhan, hingga Ia ingin agar Uli kembali kepada Ryadi. “Uli… aku udah dapat informasi soal bang Ryadi. Bang Ryadi itu kelas 12 Ipa 1 dia juga anggota tim basket, kalau mau liat dia main basket tunggu aja sekitar jam 4 sore di hari selasa atau kamis. Pasti dia ada itu. Kata abangku, bang Ryadi itu baik, ramah, lembut juga orangnya, dia juga lucu. Coba aja Uli jumpai dia, ajak ngomong aja dia”. Ungkap Geofani dengan penuh semangat. Entah mengapa, sekalipun menunggunya begitu lama Uli tak pernah merasa jenuh apalagi bosan. Sebab, dengan menunggu Ryadi, ia bisa belajar untuk sabar dan ikhlas dalam mencintai seseorang. Selain itu, Uli begitu beruntung karena memiliki sahabat yang selalu mendukung penuh akan hal yang dia harapkan.

About Muhammad Zulfikri

Saya adalah anak prtama dari 6 bersaudara. Ibu saya bernama Almarhumah Wellyusni dan Ayah saya bernama Aswir. Saya lahir pada 04 April 1994 di Kota Medan Sumatera Utara. Saya merupakan Alumni dari SDN 060809 Medan , SMP N 6 Medan dan SMK Karya Agung Medan. Saat ini ( Februari 2015 ) saya tengah melanjutkan Pendidikan S1 di Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah Medan dengan jurusan Peendidikan Matematika Semester 4. Blog pribadi yg sederhana ini saya luncurkan sebagai sarana saya untuk menyalurkan hobi berdeskripsi atau menulis sastra baik dalam bentuk cerita maupun puisi dan syair. Sekian beberapa hal tentang saya.. Terima Kasih atas kunjungannya...

Posted on 29 April 2015, in Karya Tulis. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Komentar disini